Friday, July 11, 2014

Rasa Itu Masih Ada























Bukan keinginanku untuk memendam cinta….



Bukan kemauanku untuk terus diam meski memendam perasaan yang mendalam….



Diam , bisuku dan rasa bertahan untuk tidak mengungkapkan itulah yang membuat cinta yang kurasakan makin terlihat ada dan nyata…..



Lalu dari jauh aku hanya bisa menatapmu ………. berharap kamu bisa merasakan perasaanku tanpa aku harus mengungkapkannya…



Namun sampai kapan aku bisa bertahan?



Kupandang setengah gelas cinnamon dolce latte dihadapanku, “God…., aku tidak seharusnya merasakan hal ini,” batinku. Mataku mengalirkan mata air bersamaan derasnya tirai hujan di balik jendela.



-------------------------------------------------------------------



“Need help, very very urgently…”



Barisan tulisan short massages services aku kirimkan melalui ponselku sabtu dinihari. Tidak berapa lama balasan langsung seperti biasanya muncul dilayar biru ponselku. “ Ada apa mbak…pagi-pagi udah ngaggetin orang, awas kalo gak penting,” … sahutmu tertulis di layar.



Seketika puluhan text memenuhi layar ponselku dan langsung kukirimkan kepadamu, dan seperti biasa jawaban atas pertanyaan yang meretas pagi dini hari itu, mampu membantu mengusir kegundahan hatiku.



Sedikit mengenai pemuda ini, aku dan dia berkenalan pada saat kami sedang sama-sama bertemu dalam suatu acara yang diadakan kantorku. Kami bersahabat baik selang beberapa saat kami berkenalan, sesuatu yang bisa dikatakan seperti sudah ditakdirkan.



-------------------------------



Sebagai sahabat dengan mudah setiap obrolanku denganmu dapat menjadi pencahar rahasia dan gelisahanku. Keingintahuanku dibalas olehmu dengan informasi menyeluruh. Kamu selalu menelanjangiku tanpa penawar rasa malu pada saat aku berkeluh kesah atas suatu hal.



Dan disaat aku tidak puas akan sesuatu, disaat aku berteriak keras  akan ketidakadilan yang terjadi padaku, kamu berbicara dengan ketenangan dan gejolak emosi, yang kadang membuatku menjadi seorang wanita yang kurang sempurna….



“Jangan bertanya hal itu padaku, mbak…aku belum mengalaminya,” katamu satu hari , saat aku tidak puas dan bertanya atas sesuatu. Perasaan menyesal meruak seketika mengingat aku telah memaksamu untuk bisa selalu menjawab dalam segala persoalan hidupku. Aku yang lebih dulu merasakan kehidupan dunia ternyata tidak mampu membuktikan padamu bahwa aku mampu menyelesaikan  persoalan hidupku sendiri. Aku terlalu mudah menunjukkan kerapuhanku padamu .



---------------------------------------------------------------



“Aku ingin memuat fotomu mbak…,” katamu beberapa hari yang lalu.



“ Untuk apa? Tidak ada yang istimewa dengan diriku?” Jawabku sambil memotong sepotong kecil chocolate hot fudge ke dalam mulut. Kita berdua sedang duduk menikmati makan malam sepulang dari kantor.



“Setiap orang itu istimewa mbak...tidak peduli siapa dia, ada sisi menarik yang bisa ditampilkan dan menjadikannya cermin bagi yang lain.” Katamu pelan.



“Aku tidak istimewa…” tegasku lagi



“Masih banyak yang lebih istimewa dibandingkan aku, mungkin kamu bisa mulai mencarinya dari sekarang,” lanjutku, “ Dan aku tidak terlalu suka terekspose , lebih suka mengeksposenya dalam bentuk yang lain,” sambungku datar.



“Kamu istimewa mbak…” lanjutnya “Hmmmm mengekspose dalam bentuk tulisankah?” tanyamu, matamu lekat memandangku.



“Hu uh…yah dengan itu.” Aku mulai merasa tidak nyaman dengan tatapannya.



“Tulisanmu itu mbak… “ Tiba-tiba kamu berkata “Aku melihat tulisanmu itu tidak pernah berakhir bahagia, apa dirimu tidak pernah merasakan bahagia?”.



Aku tertegun, tidak siap akan ditanya seperti itu…,” I don’t believe happiness ever after,… its only in fairytale.” Jawabku.



“Why did you say that? You are wealthy woman you should be happy?” jawabmu tidak percaya.



“You know , mbak…” lanjutmu “ Happiness  should be a process not as an ending.”



“Happiness…” lanjutmu lagi seolah tidak memberiku kesempatan untuk membela diri atas pernyataanku diatas, “ Adalah pengalaman, bukan penjelasan. Happiness adalah perjalanan, bukan tujuan…”



Aku mengangkat kepalaku, memandang matanya lekat-lekat. Mencari tahu atas kalimat yang baru keluar dari mulutnya tadi.  Tidak ada yang aneh dari pernyataan  itu , memang…tapi pemuda ini,  yang lebih muda belasan tahun dariku mampu membuatku terkunci kata. Seketika rinduku yang sudah mengerontang bagai sahara selama ini tahu-tahu dibalas dengan limpahan air Niagara, aku tidak siap…tubuhku terkunci, mataku nanar menatapnya, seolah dia sudah tahu apa yang terjadi di separuh perjalanan hidupku selama ini. Mataku menangis tanpa isak, hanya banjiran air yang dipompa tanpa bisa di stop. Dan kamu….kamu hanya memandangku….



-------------------------------------



Setelah kejadian itu, kita menjadi semakin dekat, dan aku selalu menumpahkan apa yang ada di dalam pikiranku padamu. Dan kamu…dengan kemurahan hatimu, bersedia menjadikan dirimu sebagai tempat pembuangan rasaku. Dalam diriku…persahabatan itu mulai berubah arti….aku mulai jatuh cinta padamu…



Aku dan kamu  biasa saling bertemu, biasa saling berbagi , terbiasa saling memberi perhatian…kamu tahu  Cinta datang karena terbiasa jika keterbiasaan itu terjadi karena ketidaksengajaan . Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiranmu…namun aku sangat menghargai kebahagiaanku saat ini…kebahagiaan dapat mencintai seseorang…dan… Tuhan telah menebarkan cintanya disana…



Kini dimalam rutinitasku mulailah kamu mendominasi ruang pikiranku, seolah ada antena yang tumbuh di kepalaku untuk selalu mendeteksi frekuensimu. Gila memang…! Aku! Seorang wanita yang hidup stabil. Bahkan aku sudah mulai memprediksi kehidupan masa depanku, harus terobrak-abrik hanya karena kamu! Pemuda yang selisih usianya 10 tahun dari usiaku!  Segenap sel tubuhku menginginkan hal tersebut terjadi, tapi pikiranku gentar membayangkan perubahan dan ketidakpastian.



-------------------------------------------



Kuhirup sekali lagi cinnamon dolce latte, serupan terakhir. Hujan masih terus menerus mengguyur seolah dewa Zeus sedang menampakkan kemurkaannya. Mataku masih basah, untuk apa? Akupun tidak tahu apa yang kutangisi….



Terbayang lagi siluet tubuhmu berjalan bergandengan tangan dengan teman wanitanmu. Aku yang saat itu sedang mencari kebutuhan menulisku terpaksa menyembunyikan kepalaku diantara tumpukan buku, mengintip kemesraan kalian. Lucu…tapi tidak kupalingkan mataku, aku terus menatapmu, sampai akhirnya aku berpaling….. ketika lenganmu mulai mendekap teman wanitamu dan memeluknya rapat kearahmu…..



Semua ini hanya topeng yang dipakai dan ditanggalkan kapanpun kita mau….



Kumusnahkan perasaanku barusan…



Kuhancurkan hingga berkeping keeping….



Dan kini….aku kembali menjadi aku….siapapun itu…aku tak tahu…



Aku utuh…



Itu saja…



Lalu aku berjalan menjauh dan tidak berpaling lagi….