Friday, July 11, 2014

Dear My Heart







Aku masih tidak habis pikir,  terbayang kata-kata mbak Retno tadi.



 “Mungkin gak bisa diterusin  lagi Ris….”



“Apa alasannya mbak ?”  tanyaku..



“Perbedaan sifat….sifat kamu terlalu kaku”. Kata mbak Retno hati-hati.



Aku hanya tertawa masam, seseorang bisa menilai karakter orang lain hanya dari beberapa kali pertemuan? Sungguh hebat, batinku perih.



Kaku katanya? Apa  yang membuatnya berfikiran aku kaku? Karena aku meminta kejelasan atas hubungan yang telah 6 bulan  ini berlangsung? Aku sudah kenal orangtuanya, dan orangtuakupun telah mengenal dia. Wajar jika aku bertanya arah hubungan ini. Dan yang membuatku tersinggung, dia memutuskan tidak meneruskan hubungan ini lewat mbak Retno, sahabatku. Memang mbak Retno yang memperkenalkan aku dengan dia, tapi kenapa tidak secara langsung saja dia mengatakannya padaku?. Aku bisa menjelaskan, bahwa kaku yang disebutnya itu sebenarnya  hanya prinsip, prinsip untuk tidak pacaran ,berlama-lama dalam satu hubungan, aku memang tipe orang yang tidak menganut kata’pacaran’. Lagi pula untuk apa pacaran ? Usiaku kan sudah 38 tahun, empat bulan lagi 39 tahun.  Aku ingin menjalin hubungan dengan seseorang yang memang serius ingin menikah. Mengenal seseorang perlu, apalagi untuk tujuan menikah, jangan sampai seperti membeli kucing dalam karung, istilah orang tua. Tapi kalau cuma kenalan, jalan bareng tanpa suatu kejelasan, aku tidak berminat. Lagi pula pacaran tidak menjamin langgengnya suatu pernikahan. Aku teringat tanteku dan Frida sahabatku yang sudah pacaran hampir 10 tahun, akhirnya toh pernikahan mereka kandas dalam hitungan bulan.  



Tapi diusiaku yang ke 38 tahun ini, persoalan belum menikah adalah sebuah topic yang amat sangat menarik untuk dibahas, mengalahkan top 10 newsnya  Metro TV, atau liputan 6-nya SCTV.



Awalnya aku tidak terlalu memperdulikan pertanyaan dan omongan orang, yang selalu mempertanyakan kapan aku akan menikah. Pun ketika adikku yang nomor 2 dilamar oleh pujaan hatinya, aku tidak terlalu ambil pusing, aku pikir namanya juga sudah datang jodohnya, kenapa harus ditunda-tunda?







~ n ~







 “Apa yang kamu inginkan, Ris?”,  tanya ibuku pada saat sebelum acara ‘langkahan’ adikku.  “Kamu mau dibelikan apa sama adikmu? “.



Aku hanya menggeleng, “Gak usah bu…, kasihan Desti, dia kan belum kerja, lagi pula untuk biaya pernikahan ini saja kita sudah mengeluarkan dana yang lumayan banyak”.



Teringat tadi pagi ibu menyuruhku untuk memasang iklan di koran, guna menjual tanah keluarga yang ada di Bojong Gede.



“Ibu sudah sepakat dengan ayah untuk menjual tanah itu, lagipula sepertinya daerah itu kurang berkembang…, “lanjut ibu lagi.



Aku hanya bisa mengiyakan. Itu saja sudah cukup membuat susah orangtuaku, apalagi ditambah dengan permintaanku nanti, lagi pula adikku Desti baru saja lulus kuliah dan belum mendapatkan pekerjaan.



“Kamu bagaimana sih? jangan mempersulit diri kamu sendiri, itu kan cuma syarat! Sudah sekarang kamu mau minta apa? Nanti ibu sampaikan sama adikmu.”



Aku hanya terdiam. Minta apa?  Kalau boleh minta, ya aku minta diberikan seorang suami, seorang laki-laki yang bisa menerimaku apa adanya. Tapi sudah pasti permintaan yang satu itu tidak bisa dikabulkan oleh adikku, bahkan kedua orangtuaku, lalu apalagi yang aku inginkan?  Aku berkata dalam hati.



“Nantilah aku pikir dulu bu…”. akhirnya aku menjawab malas.



Dan jawabanku untuk tidak meminta sesuatu apapun dari adikku tercinta, berakibat omongan disana-sini yang mendaulat aku tidak akan ‘laku’  dikarenakan tidak meminta syarat pada waktu acara langkahan adikku.



Siapa sih yang tidak ingin menikah? Semua orang pasti ingin memasuki jenjang istimewa tersebut. Apalagi di kantorku, terkhusus di divisiku tinggal  2 orang lagi yang belum menikah, aku dan Ujang. Usia Ujang terpaut 3 tahun dibawahku, tapi jika melihat karakternya, aku menduga dia baru mau menikah jika umurnya sudah melewati kepala empat. “ Tunggu nanti setelah usia 40 tahun Ris, you know, lifes begin forty, dari pada ngerasain puber ke dua?  Setelah melewati usia 40, baru aku akan mulai mencari permaisuriku, untuk saat ini lebih baik kita nikmati hidup dulu, Ris”, begitu selalu katanya.



Buatku, sudah tidak terhitung aku dikenalkan laki-laki  oleh beberapa temanku, tapi semuanya berakhir di perkataan “ Sabar ya Ris…, belum jodoh,” atau “laki-laki sekarang banyak maunya Ris..,”  bujuk mereka. Aku hanya tersenyum dan selalu berkata, “Gak papa ….santai saja,”



Pernah juga aku menjalin hubungan dengan seorang pemuda yang kemudian menyatakan keinginannya untuk melamarku. Tapi ternyata orang tuanya tidak setuju dengan keinginan anaknya itu, mereka menginginkan putranya menikah dengan sesama daerah asal orangtuanya, mereka tidak ingin anaknya menikah dengan wanita ‘seberang’ atau diluar daerah mereka,  entah apa maksudnya, yang jelas akhirnya pemuda tersebut tidak meneruskan niatnya dan akhirnya aku mengganggap dia bukan jodohku. That’s all.



Kadang aku merasa tidak enak dengan teman-teman serta saudara-saudaraku,  mereka kelihatan seperti merasa bersalah jika dalam sehari tidak memperkenalkanku dengan  sosok yang berwujud laki-laki.







~ n ~







“Ris, besok datang ke partynya Ujang ya…dia mau traktir makan tuh di Holycow, pulang kantor kita bareng-bareng kesana”.



Mbak Retno tiba-tiba datang sambil menepuk punggungku. Aku hampir tersedak, dan tidak sempat menjawab ‘Tidak’, karena mbak retno langsung berjalan  menuju ke kubikelnya.



Pesta ulang tahun Ujang lebih tepat disebut reuni teman kuliahnya. Hampir 80% yang hadir adalah teman kuliah Ujang di salah satu Perguruan Tinggi Ternama di daerah Depok. Aku beserta teman-teman kantor satu lantai mau tidak mau akhirnya ikut dalam pembicaraan mengenai nostalgia Ujang dan teman-temannya waktu kuliah dulu, ditambah pembicaraan kantor yang akhir-akhir ini menarik karena akan ada pergantian direksi.



“Bangku ini kosong?”, tiba-tiba seseorang bertanya kepadaku.



“Y….Ya, silahkan,” tergagap aku menjawab. Aku melirik mbak Retno yang asyik berbicara dengan mas Haris -seniorku satu divisi- yang  memesan kembali ‘wagyu sirloin’ untuk kedua kalinya. Oh My God! Aku membatin, pantas saja program diet mbak Retno gagal terus, dia suka kalap kalau berhubungan dengan Holycow,  



“Lagi galau nih Ris”, begitu katanya jika aku ingatkan tentang program unggulannya.







Kupandang sekilas laki-laki yang saat ini duduk disampingku di bangku yang seharusnya diduduki oleh mbak Retno, tapi karena pembicaraan projectnya di kantor bersama mas Haris, akhirnya dia lebih mementingkan pindah tempat duduk, dan meninggalkan aku sendirian  menikmati ‘steak rib eye wagyu’ well done kesukaanku. Putih, tinggi, wajah oval, rambut ikal, masih mengenakan kemeja kantor dengan sebagian lengan tangan digulung.  Laki – laki tersebut tiba-tiba menatapku, tergagap aku menundukkan pandangan. “Kenalin,aku Arif, teman satu kampus Ujang dulu”, katanya.



“Err….Riris,” jawabku cepat-cepat sambil  menelan sepotong kecil French fries tanpa sempat dikunyah  dan meletakkan garpu dan pisau kembali di atas piring.



“Satu kantor dengan Ujang?,” tanyanya lagi.



“Ya!,” jawabku yang terdengar sangat kaku.



“ Satu divisi?” lanjutnya.



“Ya!,” lagi-lagi suaraku terdengar kaku, batinku.



Tapi pembicaraan malam itu terasa menyenangkan buatku.  Aku merasa nyaman berbicara dengan Arif, seolah dia dapat memahamiku, dia bisa menghidupkan suasana selagi aku terlihat sangat kaku dan canggung, diam seribu bahasa, karena malu dan tidak pandai memulai pembicaraan. Aku memang orang yang pemalu. Terkadang kalimat yang keluar dari mulutku seperti sedang marah, padahal itu hanya ekspresiku untuk menutupi kegugupanku dihadapan orang baru, terutama laki-laki. Dan akhinya banyak orang menyebutku ‘wanita judes’. Seusungguhnya aku sedih mendengar julukan itu, tapi aku kesulitan untuk merubahnya.



Percakapan dengan Arif malam itu, membuat suatu harapan, dan doa kecil yang kuselipkan sebelum tidurku,  aku berdoa semoga Arif  belum menikah.







~ n ~







 “Ris, dapat salam tuh dari Arif”, teriak Ujang keesokan harinya.



“Salam balik deh Jang ..,” jawabku pendek, keruan saja hatiku cetar membahana menggelora bahagia  mendengar teriakan Ujang.



“Begitu aja Ris…., ada yang mau ditanya gak ?”, teriak Ujang lagi melewati beberapa kubikel teman.



“Memang mau nanya apa Jang?”, jawabku malu.



“Udah punya pacar belom?, Udah kawin belom? Kerja dimana! Gitu Ris, masak gak ada yang kamu pingin tau!,” teriak Ujang lagi.



“Tolong tanyain aja deh Jang, semua yang udah kamu sebutkan tadi,” jawabku salah tingkah.



“Aduh, Riris….agresif dikit dong! Bagaimana laki-laki tahu kamu juga ada rasa sama dia?  Kalo dia minta nomor telponmu, aku kasih boleh ya?”, teriak Ujang lagi.



Duh nih anak! Apa gak bisa bicara pelan-pelan atau datang duduk kesini? Kok berita begini disebar gratis lewat teriakan? Sungutku dalam hati. Dan benar saja, tidak sampai hitungan menit, emailku penuh dengan puluhan pertanyaan tentang siapakah laki-laki yang dimaksud. Gossip cepat menyebar, keluhku.



Setelah menjelaskan seperlunya kepada teman-teman satu ruangan dan memandang mbak Retno dengan tatapan –kenapa mbak ninggalin aku sendirian kemarin hah?- yang langsung dibalas mbak Retno dengan mengacungkan dua buah jempolnya, aku memilih membenamkan kepalaku diatas tumpukan kertas pekerjaan.



~ n ~



Sudah hampir 3 bulan  ini, Arif rajin menyapaku lewat email dan bbm. Dan darinya aku tahu sedikit banyak tentang keluarganya. Dia adalah anak ke 4 dari 6 bersaudara. Kakaknya perempuan semua dan sudah menikah, tinggal dia dan dua orang adiknya yang masih bersekolah. Ibunya seorang Kepala Sekolah salah satu SMP Negeri di Jakarta Pusat, sedangkan ayahnya adalah pensiunan pegawai pemerintah Departemen Dalam Negeri.  Arif sendiri  belum menikah karena selama ini sibuk bekerja sambil meneruskan kuliah lagi. Saat ini dia bekerja sebagai peneliti pada satu perusahaan pemerintah. Tapi dia berkata padaku tahun ini dia berencana untuk melepas masa lajangnya, dikarenakan usia serta  tuntutan dari orangtuanya yang meminta dia untuk cepat menikah.



Aku sendiri berusaha menganggap Arif hanya sebatas teman. Karena sampai saat inipun tidak ada tanda-tanda dia menganggapku lebih dari teman. Hanya mbak Retno yang selalu berkata bahwa , Arif punya perhatian lebih padaku.



Memang dalam percakapannya lewat email dan bbm, kadang Arif bertanya padaku, apakah aku sudah makan, menanyakan kondisi kesehatanku, keluargaku, pekerjaan di kantor. Sesekali dia  juga mampir di kantorku sambil membawa Toffe Nut Latte-nya Starbucks kesukaanku. Dia pernah bilang kalau dia suka tipe wanita pendiam, tegas, dan pekerja keras. Dan dia bilang, ciri-ciri seperti itu ada pada keluarganya dan sedikit banyak ada padaku juga.



Kalau boleh dibilang senang, harusnya aku senang karena ada seseorang yang perhatian padaku. Tapi hal ini justru membuatku gelisah, aku tidak bisa menduga arah pertemanan seperti apa yang Arif inginkan.  Mengingat usiaku dan usianya sudah tidak bisa dibilang ‘muda’ lagi, serta semakin lama aku berhubungan dengannya, aku takut tidak mampu mengontrol hatiku. Dan lagi, selama berhubungan dengan Arif dia tidak pernah mengucapkan kata-kata yang menurutku istimewa, kecuali perhatian-perhatian kecilnya itu. Tapi aku tidak mampu dan tidak punya keberanian untuk bertanya atau mencari tahu mengenai hal itu.



~ n ~







Suara alarm bbm menyentakkanku dari kegiatan pekerjaanku siang itu. Arif memberitahu akan datang ke kantorku setelah jam makan siang.



Setengah bertanya –tanya aku, karena biasanya Arif hanya berbicara lewat email atau bbm.



Dan kedatangan Arif siang itu sekaligus menjawab segala macam pertanyaan yang selama ini selalu berkecamuk di kepalaku, yang tidak berani aku ungkapkan kepada siapapun.



“Aku mau menikah bulan depan Ris,”. Katanya. Ucapannya sontak hampir membuat jantungku berhenti berdenyut, kepalaku berat serasa ditimpa ber ton-ton batu.



“Alhamdulillah…akhirnya, siapakah wanita yang berbahagia itu Rif ?” sahutku yang terdengar seperti setengah berteriak.



“Teman kantor juga Ris,  seperti nasihatmu, aku harus berani mengambil keputusan terhadap persoalan menikah ini, selama ini aku takut, apakah dia wanita yang tepat untukku, tapi kamu berhasil meyakiniku Ris, bahwa menikah itu sebagian dari ibadah, oleh karenanya Tuhan pasti memberikan yang terbaik, walau aku kenal dia juga baru sebentar dan aku tidak mau berlama-lama, toh jika sesuatu yang baik, Tuhan akan melancarkannya, iya kan Ris?” tanya Arif lagi, mengutip nasihatku padanya tempo hari.



Aku mengangguk dan tersenyum, walaupun aku tahu itu tidak terlihat seperti senyuman. “Selamat ya, Rif ,” lidahku kelu, hatiku menangis. Aku pandai menasihati banyak orang, tapi tidak pandai untuk menasihati hatiku sendiri. Aku bersembunyi dibalik topeng ketegaranku, yang kadang banyak orang melihatku kuat dalam segala hal. Tidak! Aku tidak seperti itu, aku juga manusia yang punya sisi lemah, kodratku sebagai seorang wanita yang juga ingin dimanja, diperhatikan, dirayu, semua itu aku inginkan. Permasalahannya adalah aku tidak mampu untuk mengungkapkannya.



Pada akhirnya aku yang beberapa kali kecewa dalam berhubungan dengan laki-laki, semakin membuatku tidak berani berharap banyak dan cenderung tertutup. Termasuk dengan Arif, dimana awalnya aku berusaha keras menganggap dia hanya sebagai ‘teman’, walau kadang hatiku suka goyah dengan perhatian dan hadiah kecilnya sehingga membuatku  sempat berharap, ternyata akan menikah bulan depan dengan pilihannya. Jika ditanya bagaimana perasaanku saat ini, aku tidak mampu menjawabnya. Hanya prasangka baik terhadap Tuhan dan Ariflah yang mampu membuatku untuk tetap menegakkan kepala.



Selama ini ternyata Arif menganggapku sudah seperti keluarganya terutama seperti saudari perempuannya. Mereka sekeluarga  adalah wanita tangguh, tegas dan pekerja keras.



Aku hanya bisa tersenyum –yang kurasa mungkin lebih mirip seringai-, dan hampir tak percaya saat bibirku mampu mengucapkan kata selamat. Ini adalah jawaban yang kutunggu selama ini, tapi tidak dengan hasil akhirnya.



~ n ~







Aku hanya bisa menangis diatas sajadahku, tidak seorangpun yang tahu jika aku sedang bersedih saat ini. Aku tidak terbiasa memperlihatkan kesedihan kepada orang lain, begitu juga kepada keluargaku sendiri. Cukuplah aku yang merasakannya, tak perlu banyak orang ikut menanggung beban perasaanku. Selama ini banyak orang mengangapku kaku, keras dan sulit bergaul. Aku memahami itu. aku merasa seperti itu karena tanggung jawabku kepada keluarga. Sifatku kadang bertentangan dengan perbuatanku.



Sifatku yang sesungguhnya adalah seorang yang peka terhadap sekitar, suka menolong, cinta keluarga,  pekerja keras, senang mendengarkan, pemalu,  ramah dan mudah bergaul.



Tapi  sifat asliku itu bertolak belakang sekali dengan perbuatan yang aku keluarkan melalui perilaku. Aku cenderung kaku dan sedikit terlihat jutek. Terutama jika berhubungan dengan laki-laki. Entahlah, kadang rasa malu dan grogiku yang membuat akhirnya aku tampil seperti itu. Dan susah  sekali merubah semua itu.



Semenjak ayah dan ibuku bercerai setahun setelah adikku yang nomor 2 menikah, aku tinggal bersama ayah yang beberapa bulan terakhir ini divonis menderita kanker prostat. Sedangkan ibuku sekarang sudah menikah lagi. Setiap pekan aku menemani ayahku untuk teraphy kanker di sebuah rumah sakit di Jakarta. Aku harus pulang tepat pada waktunya, waktu liburpun aku gunakan untuk mengurus ayahku dan beristirahat. Adik-adikku sudah sibuk dengan keluarga dan kegiatan kuliahnya. Ibukupun sibuk dengan keluarga barunya. Kasihan ayah, jika tidak ada yang memperhatikan dirinya.



Dari dulupun aku terbiasa membantu keuangan keluarga, aku juga membiayai sekolah adik-adikku, dan sekarang aku membiayai kuliah adik bungsuku di sebuah Lembaga Bahasa Asing. Semua itu yang menyebabkan aku jarang bergaul di luar kantor. Waktuku habis untuk pekerjaan dan keluarga, yang pada akhirnya aku lupa memperhatikan urusan pribadiku sendiri. Tapi aku tidak menyesali itu semua, karena aku melakukan semua itu atas dasar cinta. Aku sangat mencintai keluargaku, dan aku mencintai pekerjaanku. Aku mencintai mereka dan rela berkorban untuk mereka. Aku bahagia, jika melihat merekapun bahagia, kembali aku menitikkan airmata.







~ n ~







Aku terbangun saat cahaya matahari mulai masuk melalui jendela kamarku. Ternyata aku tertidur setelah subuh tadi, bersyukur hari ini, hari Minggu. Hari ini genap usiaku 39 tahun, aku bersyukur saat ini masih diberikan kesehatan dan umur panjang, banyak doa yang kupanjatkan dini hari tadi.



Terdengar pintu kamarku diketuk halus, ternyata Isti adik bungsuku. Dia berjalan kearahku dan duduk di samping tempat tidurku.



“Happy Birthday  mbak,  ucapnya , gak bisa kasih apa-apa nih,” kulihat tangannya menyodorkan sebuah bungkusan berbentuk oval.



Setengah terkejut aku dan setelah mengucapkan terimakasih, aku buka bungkus kado bergambar balon dan bunga-bunga kecil itu. Clutch biru bertahtakan batu-batuan teronggok didasar robekan bungkus kado. Belum habis rasa heranku, Isti adikku menjawab “Bagus mbak? Aku buat rame-rame bareng gengku, rencana habis kuliah aku mau buat bisnis seperti ini mbak,” lanjutnya lagi.



“Bagus Isti,nanti mbak bantu pasarkan di kantor ya,” kataku masih dalam perasaan excited.



Isti lalu memandang wajahku, “Ada yang mau Isti tanyakan nih mbak, lanjutnya lagi, mungkin ini bukan waktu yang terbaik, tapi Isti mau minta pendapat mbak Riris dulu,” .



Aku menatap wajahnya, “Ada apa Isti?”



“ Aku punya teman dekat mbak, namanya Haryo,” Isti memulai dengan hati-hati.



Jantungku berdetak lebih cepat.



“ Sudah 3 tahun ini aku dekat dengan dia. Dia bekerja sebagai kontraktor, kantornya di daerah Senayan. Kami berencana menikah tahun depan.  Jika aku dilamar bulan depan, apakah mbak Ris keberatan?” . Isti bertanya tanpa menatap mataku.



Aku tersenyum, serasa hangatnya sinar matahari membuat pipiku jadi kemerahan. Saat ini sudah pasti akan datang, cepat atau lambat. Dan aku sudah siap untuk jawabannya.



“Tentu tidak Isti, mbak justru sangat bahagia….”.




















No comments:

Post a Comment