“Mungkin gak
bisa diterusin lagi Ris….”
“Apa alasannya mbak ?” tanyaku..
“Perbedaan sifat….sifat kamu terlalu kaku”. Kata
mbak Retno hati-hati.
Aku hanya tertawa masam, seseorang bisa menilai karakter
orang lain hanya dari beberapa kali pertemuan? Sungguh hebat, batinku perih.
Kaku katanya? Apa
yang membuatnya berfikiran aku kaku? Karena aku meminta kejelasan atas
hubungan yang telah 6 bulan ini
berlangsung? Aku sudah kenal orangtuanya, dan orangtuakupun telah mengenal dia.
Wajar jika aku bertanya arah hubungan ini. Dan yang membuatku tersinggung, dia
memutuskan tidak meneruskan hubungan ini lewat mbak Retno, sahabatku. Memang
mbak Retno yang memperkenalkan aku dengan dia, tapi kenapa tidak secara
langsung saja dia mengatakannya padaku?. Aku bisa menjelaskan, bahwa kaku yang
disebutnya itu sebenarnya hanya prinsip,
prinsip untuk tidak pacaran ,berlama-lama dalam satu hubungan, aku memang tipe
orang yang tidak menganut kata’pacaran’. Lagi pula untuk apa pacaran ? Usiaku
kan sudah 38 tahun, empat bulan lagi 39 tahun. Aku ingin menjalin hubungan dengan seseorang
yang memang serius ingin menikah. Mengenal seseorang perlu, apalagi untuk
tujuan menikah, jangan sampai seperti membeli
kucing dalam karung, istilah orang tua. Tapi kalau cuma kenalan, jalan
bareng tanpa suatu kejelasan, aku tidak berminat. Lagi pula pacaran tidak
menjamin langgengnya suatu pernikahan. Aku teringat tanteku dan Frida sahabatku
yang sudah pacaran hampir 10 tahun, akhirnya toh pernikahan mereka kandas dalam
hitungan bulan.
Tapi diusiaku yang ke 38 tahun ini, persoalan belum
menikah adalah sebuah topic yang amat sangat menarik untuk dibahas, mengalahkan
top 10 newsnya Metro TV, atau liputan 6-nya
SCTV.
Awalnya aku tidak terlalu memperdulikan pertanyaan
dan omongan orang, yang selalu mempertanyakan kapan aku akan menikah. Pun
ketika adikku yang nomor 2 dilamar oleh pujaan hatinya, aku tidak terlalu ambil
pusing, aku pikir namanya juga sudah datang jodohnya, kenapa harus
ditunda-tunda?
~
n ~
“Apa yang
kamu inginkan, Ris?”, tanya ibuku pada
saat sebelum acara ‘langkahan’ adikku. “Kamu
mau dibelikan apa sama adikmu? “.
Aku hanya menggeleng, “Gak usah bu…, kasihan Desti,
dia kan belum kerja, lagi pula untuk biaya pernikahan ini saja kita sudah
mengeluarkan dana yang lumayan banyak”.
Teringat tadi pagi ibu menyuruhku untuk memasang
iklan di koran, guna menjual tanah keluarga yang ada di Bojong Gede.
“Ibu sudah sepakat dengan ayah untuk menjual tanah
itu, lagipula sepertinya daerah itu kurang berkembang…, “lanjut ibu lagi.
Aku hanya bisa mengiyakan. Itu saja sudah cukup
membuat susah orangtuaku, apalagi ditambah dengan permintaanku nanti, lagi pula
adikku Desti baru saja lulus kuliah dan belum mendapatkan pekerjaan.
“Kamu bagaimana sih? jangan mempersulit diri kamu
sendiri, itu kan cuma syarat! Sudah sekarang kamu mau minta apa? Nanti ibu
sampaikan sama adikmu.”
Aku hanya terdiam. Minta apa? Kalau boleh minta, ya aku minta diberikan
seorang suami, seorang laki-laki yang bisa menerimaku apa adanya. Tapi sudah
pasti permintaan yang satu itu tidak bisa dikabulkan oleh adikku, bahkan kedua
orangtuaku, lalu apalagi yang aku inginkan?
Aku berkata dalam hati.
“Nantilah aku pikir dulu bu…”. akhirnya aku menjawab
malas.
Dan jawabanku untuk tidak meminta sesuatu apapun
dari adikku tercinta, berakibat omongan disana-sini yang mendaulat aku tidak
akan ‘laku’ dikarenakan tidak meminta
syarat pada waktu acara langkahan adikku.
Siapa sih yang tidak ingin menikah? Semua orang
pasti ingin memasuki jenjang istimewa tersebut. Apalagi di kantorku, terkhusus
di divisiku tinggal 2 orang lagi yang
belum menikah, aku dan Ujang. Usia Ujang terpaut 3 tahun dibawahku, tapi jika
melihat karakternya, aku menduga dia baru mau menikah jika umurnya sudah
melewati kepala empat. “ Tunggu nanti setelah usia 40 tahun Ris, you know, lifes
begin forty, dari pada ngerasain puber ke dua? Setelah melewati usia 40, baru aku akan mulai mencari
permaisuriku, untuk saat ini lebih baik kita nikmati hidup dulu, Ris”, begitu
selalu katanya.
Buatku, sudah tidak terhitung aku dikenalkan laki-laki oleh beberapa temanku, tapi semuanya berakhir
di perkataan “ Sabar ya Ris…, belum jodoh,” atau “laki-laki sekarang banyak
maunya Ris..,” bujuk mereka. Aku hanya
tersenyum dan selalu berkata, “Gak papa ….santai saja,”
Pernah juga aku menjalin hubungan dengan seorang
pemuda yang kemudian menyatakan keinginannya untuk melamarku. Tapi ternyata
orang tuanya tidak setuju dengan keinginan anaknya itu, mereka menginginkan
putranya menikah dengan sesama daerah asal orangtuanya, mereka tidak ingin
anaknya menikah dengan wanita ‘seberang’ atau diluar daerah mereka, entah apa maksudnya, yang jelas akhirnya
pemuda tersebut tidak meneruskan niatnya dan akhirnya aku mengganggap dia bukan
jodohku. That’s all.
Kadang aku merasa tidak enak dengan teman-teman
serta saudara-saudaraku, mereka
kelihatan seperti merasa bersalah jika dalam sehari tidak memperkenalkanku
dengan sosok yang berwujud laki-laki.
~
n ~
“Ris, besok datang ke partynya Ujang ya…dia mau traktir makan tuh di Holycow, pulang kantor
kita bareng-bareng kesana”.
Mbak Retno tiba-tiba datang sambil menepuk
punggungku. Aku hampir tersedak, dan tidak sempat menjawab ‘Tidak’, karena mbak
retno langsung berjalan menuju ke kubikelnya.
Pesta ulang tahun Ujang lebih tepat disebut reuni teman
kuliahnya. Hampir 80% yang hadir adalah teman kuliah Ujang di salah satu
Perguruan Tinggi Ternama di daerah Depok. Aku beserta teman-teman kantor satu
lantai mau tidak mau akhirnya ikut dalam pembicaraan mengenai nostalgia Ujang
dan teman-temannya waktu kuliah dulu, ditambah pembicaraan kantor yang
akhir-akhir ini menarik karena akan ada pergantian direksi.
“Bangku ini kosong?”, tiba-tiba seseorang bertanya
kepadaku.
“Y….Ya, silahkan,” tergagap aku menjawab. Aku
melirik mbak Retno yang asyik berbicara dengan mas Haris -seniorku satu divisi-
yang memesan kembali ‘wagyu sirloin’ untuk kedua kalinya. Oh My God! Aku membatin, pantas saja
program diet mbak Retno gagal terus, dia suka kalap kalau berhubungan dengan Holycow,
“Lagi galau nih Ris”, begitu katanya jika aku
ingatkan tentang program unggulannya.
Kupandang sekilas laki-laki yang saat ini duduk
disampingku di bangku yang seharusnya diduduki oleh mbak Retno, tapi karena pembicaraan
projectnya di kantor bersama mas Haris, akhirnya dia lebih mementingkan pindah
tempat duduk, dan meninggalkan aku sendirian menikmati ‘steak
rib eye wagyu’ well done kesukaanku. Putih, tinggi, wajah oval, rambut
ikal, masih mengenakan kemeja kantor dengan sebagian lengan tangan digulung. Laki – laki tersebut tiba-tiba menatapku,
tergagap aku menundukkan pandangan. “Kenalin,aku Arif, teman satu kampus Ujang
dulu”, katanya.
“Err….Riris,” jawabku cepat-cepat sambil menelan sepotong kecil French fries tanpa
sempat dikunyah dan meletakkan garpu dan
pisau kembali di atas piring.
“Satu kantor dengan Ujang?,” tanyanya lagi.
“Ya!,” jawabku yang terdengar sangat kaku.
“ Satu divisi?” lanjutnya.
“Ya!,” lagi-lagi suaraku terdengar kaku, batinku.
Tapi pembicaraan malam itu terasa menyenangkan
buatku. Aku merasa nyaman berbicara
dengan Arif, seolah dia dapat memahamiku, dia bisa menghidupkan suasana selagi
aku terlihat sangat kaku dan canggung, diam seribu bahasa, karena malu dan
tidak pandai memulai pembicaraan. Aku memang orang yang pemalu. Terkadang kalimat
yang keluar dari mulutku seperti sedang marah, padahal itu hanya ekspresiku
untuk menutupi kegugupanku dihadapan orang baru, terutama laki-laki. Dan
akhinya banyak orang menyebutku ‘wanita judes’. Seusungguhnya aku sedih
mendengar julukan itu, tapi aku kesulitan untuk merubahnya.
Percakapan dengan Arif malam itu, membuat suatu
harapan, dan doa kecil yang kuselipkan sebelum tidurku, aku berdoa semoga Arif belum menikah.
~
n ~
“Ris, dapat
salam tuh dari Arif”, teriak Ujang keesokan harinya.
“Salam balik deh Jang ..,” jawabku pendek, keruan
saja hatiku cetar membahana menggelora bahagia mendengar teriakan Ujang.
“Begitu aja Ris…., ada yang mau ditanya gak ?”,
teriak Ujang lagi melewati beberapa kubikel teman.
“Memang mau nanya apa Jang?”, jawabku malu.
“Udah punya pacar belom?, Udah kawin belom? Kerja
dimana! Gitu Ris, masak gak ada yang kamu pingin tau!,” teriak Ujang lagi.
“Tolong tanyain aja deh Jang, semua yang udah kamu
sebutkan tadi,” jawabku salah tingkah.
“Aduh, Riris….agresif dikit dong! Bagaimana
laki-laki tahu kamu juga ada rasa sama dia? Kalo dia minta nomor telponmu, aku kasih boleh
ya?”, teriak Ujang lagi.
Duh nih anak! Apa gak bisa bicara pelan-pelan atau
datang duduk kesini? Kok berita begini disebar gratis lewat teriakan? Sungutku
dalam hati. Dan benar saja, tidak sampai hitungan menit, emailku penuh dengan
puluhan pertanyaan tentang siapakah laki-laki yang dimaksud. Gossip cepat menyebar, keluhku.
Setelah menjelaskan seperlunya kepada teman-teman
satu ruangan dan memandang mbak Retno dengan tatapan –kenapa mbak ninggalin aku
sendirian kemarin hah?- yang langsung dibalas mbak Retno dengan mengacungkan
dua buah jempolnya, aku memilih membenamkan kepalaku diatas tumpukan kertas
pekerjaan.
~
n ~
Sudah hampir 3 bulan ini, Arif rajin menyapaku lewat email dan bbm.
Dan darinya aku tahu sedikit banyak tentang keluarganya. Dia adalah anak ke 4
dari 6 bersaudara. Kakaknya perempuan semua dan sudah menikah, tinggal dia dan
dua orang adiknya yang masih bersekolah. Ibunya seorang Kepala Sekolah salah
satu SMP Negeri di Jakarta Pusat, sedangkan ayahnya adalah pensiunan pegawai
pemerintah Departemen Dalam Negeri. Arif
sendiri belum menikah karena selama ini
sibuk bekerja sambil meneruskan kuliah lagi. Saat ini dia bekerja sebagai
peneliti pada satu perusahaan pemerintah. Tapi dia berkata padaku tahun ini dia
berencana untuk melepas masa lajangnya, dikarenakan usia serta tuntutan dari orangtuanya yang meminta dia
untuk cepat menikah.
Aku sendiri berusaha menganggap Arif hanya sebatas
teman. Karena sampai saat inipun tidak ada tanda-tanda dia menganggapku lebih
dari teman. Hanya mbak Retno yang selalu berkata bahwa , Arif punya perhatian lebih
padaku.
Memang dalam percakapannya lewat email dan bbm,
kadang Arif bertanya padaku, apakah aku sudah makan, menanyakan kondisi
kesehatanku, keluargaku, pekerjaan di kantor. Sesekali dia juga mampir di kantorku sambil membawa Toffe Nut Latte-nya Starbucks kesukaanku. Dia pernah bilang kalau dia suka tipe wanita
pendiam, tegas, dan pekerja keras. Dan dia bilang, ciri-ciri seperti itu ada
pada keluarganya dan sedikit banyak ada padaku juga.
Kalau boleh dibilang senang, harusnya aku senang
karena ada seseorang yang perhatian padaku. Tapi hal ini justru membuatku
gelisah, aku tidak bisa menduga arah pertemanan seperti apa yang Arif inginkan.
Mengingat usiaku dan usianya sudah tidak
bisa dibilang ‘muda’ lagi, serta semakin lama aku berhubungan dengannya, aku
takut tidak mampu mengontrol hatiku. Dan lagi, selama berhubungan dengan Arif
dia tidak pernah mengucapkan kata-kata yang menurutku istimewa, kecuali
perhatian-perhatian kecilnya itu. Tapi aku tidak mampu dan tidak punya
keberanian untuk bertanya atau mencari tahu mengenai hal itu.
~
n ~
Suara alarm bbm menyentakkanku dari kegiatan
pekerjaanku siang itu. Arif memberitahu akan datang ke kantorku setelah jam
makan siang.
Setengah bertanya –tanya aku, karena biasanya Arif
hanya berbicara lewat email atau bbm.
Dan kedatangan Arif siang itu sekaligus menjawab
segala macam pertanyaan yang selama ini selalu berkecamuk di kepalaku, yang tidak
berani aku ungkapkan kepada siapapun.
“Aku mau menikah bulan depan Ris,”. Katanya. Ucapannya
sontak hampir membuat jantungku berhenti berdenyut, kepalaku berat serasa
ditimpa ber ton-ton batu.
“Alhamdulillah…akhirnya, siapakah wanita yang
berbahagia itu Rif ?” sahutku yang terdengar seperti setengah berteriak.
“Teman kantor juga Ris, seperti nasihatmu, aku harus berani mengambil
keputusan terhadap persoalan menikah ini, selama ini aku takut, apakah dia
wanita yang tepat untukku, tapi kamu berhasil meyakiniku Ris, bahwa menikah itu
sebagian dari ibadah, oleh karenanya Tuhan pasti memberikan yang terbaik, walau
aku kenal dia juga baru sebentar dan aku tidak mau berlama-lama, toh jika
sesuatu yang baik, Tuhan akan melancarkannya, iya kan Ris?” tanya Arif lagi,
mengutip nasihatku padanya tempo hari.
Aku mengangguk dan tersenyum, walaupun aku tahu itu
tidak terlihat seperti senyuman. “Selamat ya, Rif ,” lidahku kelu, hatiku
menangis. Aku pandai menasihati banyak orang, tapi tidak pandai untuk
menasihati hatiku sendiri. Aku bersembunyi dibalik topeng ketegaranku, yang
kadang banyak orang melihatku kuat dalam segala hal. Tidak! Aku tidak seperti
itu, aku juga manusia yang punya sisi lemah, kodratku sebagai seorang wanita
yang juga ingin dimanja, diperhatikan, dirayu, semua itu aku inginkan.
Permasalahannya adalah aku tidak mampu untuk mengungkapkannya.
Pada akhirnya aku yang beberapa kali kecewa dalam
berhubungan dengan laki-laki, semakin membuatku tidak berani berharap banyak
dan cenderung tertutup. Termasuk dengan Arif, dimana awalnya aku berusaha keras
menganggap dia hanya sebagai ‘teman’, walau kadang hatiku suka goyah dengan
perhatian dan hadiah kecilnya sehingga membuatku sempat berharap, ternyata akan menikah bulan
depan dengan pilihannya. Jika ditanya bagaimana perasaanku saat ini, aku tidak
mampu menjawabnya. Hanya prasangka baik terhadap Tuhan dan Ariflah yang mampu
membuatku untuk tetap menegakkan kepala.
Selama ini ternyata Arif menganggapku sudah seperti keluarganya
terutama seperti saudari perempuannya. Mereka sekeluarga adalah wanita tangguh, tegas dan pekerja
keras.
Aku hanya bisa tersenyum –yang kurasa mungkin lebih
mirip seringai-, dan hampir tak percaya saat bibirku mampu mengucapkan kata selamat.
Ini adalah jawaban yang kutunggu selama ini, tapi tidak dengan hasil akhirnya.
~
n ~
Aku hanya bisa menangis diatas sajadahku, tidak
seorangpun yang tahu jika aku sedang bersedih saat ini. Aku tidak terbiasa
memperlihatkan kesedihan kepada orang lain, begitu juga kepada keluargaku
sendiri. Cukuplah aku yang merasakannya, tak perlu banyak orang ikut menanggung
beban perasaanku. Selama ini banyak orang mengangapku kaku, keras dan sulit
bergaul. Aku memahami itu. aku merasa seperti itu karena tanggung jawabku
kepada keluarga. Sifatku kadang bertentangan dengan perbuatanku.
Sifatku yang sesungguhnya adalah seorang yang peka
terhadap sekitar, suka menolong, cinta keluarga, pekerja keras, senang mendengarkan, pemalu, ramah dan mudah bergaul.
Tapi sifat
asliku itu bertolak belakang sekali dengan perbuatan yang aku keluarkan melalui
perilaku. Aku cenderung kaku dan sedikit terlihat jutek. Terutama jika berhubungan dengan laki-laki. Entahlah, kadang
rasa malu dan grogiku yang membuat
akhirnya aku tampil seperti itu. Dan susah
sekali merubah semua itu.
Semenjak ayah dan ibuku bercerai setahun setelah adikku
yang nomor 2 menikah, aku tinggal bersama ayah yang beberapa bulan terakhir ini
divonis menderita kanker prostat. Sedangkan ibuku sekarang sudah menikah lagi.
Setiap pekan aku menemani ayahku untuk teraphy kanker di sebuah rumah sakit di
Jakarta. Aku harus pulang tepat pada waktunya, waktu liburpun aku gunakan untuk
mengurus ayahku dan beristirahat. Adik-adikku sudah sibuk dengan keluarga dan
kegiatan kuliahnya. Ibukupun sibuk dengan keluarga barunya. Kasihan ayah, jika
tidak ada yang memperhatikan dirinya.
Dari dulupun aku terbiasa membantu keuangan keluarga,
aku juga membiayai sekolah adik-adikku, dan sekarang aku membiayai kuliah adik
bungsuku di sebuah Lembaga Bahasa Asing. Semua itu yang menyebabkan aku jarang
bergaul di luar kantor. Waktuku habis untuk pekerjaan dan keluarga, yang pada
akhirnya aku lupa memperhatikan urusan pribadiku sendiri. Tapi aku tidak
menyesali itu semua, karena aku melakukan semua itu atas dasar cinta. Aku
sangat mencintai keluargaku, dan aku mencintai pekerjaanku. Aku mencintai
mereka dan rela berkorban untuk mereka. Aku bahagia, jika melihat merekapun
bahagia, kembali aku menitikkan airmata.
~
n ~
Aku terbangun saat cahaya matahari mulai masuk
melalui jendela kamarku. Ternyata aku tertidur setelah subuh tadi, bersyukur
hari ini, hari Minggu. Hari ini genap usiaku 39 tahun, aku bersyukur saat ini
masih diberikan kesehatan dan umur panjang, banyak doa yang kupanjatkan dini
hari tadi.
Terdengar pintu kamarku diketuk halus, ternyata Isti
adik bungsuku. Dia berjalan kearahku dan duduk di samping tempat tidurku.
“Happy Birthday
mbak, ucapnya , gak bisa kasih
apa-apa nih,” kulihat tangannya menyodorkan sebuah bungkusan berbentuk oval.
Setengah terkejut aku dan setelah mengucapkan
terimakasih, aku buka bungkus kado bergambar balon dan bunga-bunga kecil itu. Clutch biru bertahtakan batu-batuan
teronggok didasar robekan bungkus kado. Belum habis rasa heranku, Isti adikku
menjawab “Bagus mbak? Aku buat rame-rame bareng gengku, rencana habis kuliah aku mau buat bisnis seperti ini mbak,”
lanjutnya lagi.
“Bagus Isti,nanti mbak bantu pasarkan di kantor ya,”
kataku masih dalam perasaan excited.
Isti lalu memandang wajahku, “Ada yang mau Isti
tanyakan nih mbak, lanjutnya lagi, mungkin ini bukan waktu yang terbaik, tapi
Isti mau minta pendapat mbak Riris dulu,” .
Aku menatap wajahnya, “Ada apa Isti?”
“ Aku punya teman dekat mbak, namanya Haryo,” Isti
memulai dengan hati-hati.
Jantungku berdetak lebih cepat.
“ Sudah 3 tahun ini aku dekat dengan dia. Dia
bekerja sebagai kontraktor, kantornya di daerah Senayan. Kami berencana menikah
tahun depan. Jika aku dilamar bulan
depan, apakah mbak Ris keberatan?” . Isti bertanya tanpa menatap mataku.
Aku tersenyum, serasa hangatnya sinar matahari
membuat pipiku jadi kemerahan. Saat ini sudah pasti akan datang, cepat atau
lambat. Dan aku sudah siap untuk jawabannya.
“Tentu tidak Isti, mbak justru sangat bahagia….”.
No comments:
Post a Comment