Friday, July 11, 2014

Denting Hati



Perfect Piano




Dentingan ‘Lieberstraum’  Richard Clayton mengalun memenuhi ruang tamu entah yang keberapa kalinya. Kamu menatapku dengan terpana, mulut setengah terbuka tapi tetap sebersit senyuman bangga.
Duduk di dekatmu, sedemikian dekat membuatku rela untuk memencet tuts piano berkali-kali, tanpa ada rasa lelah.

Hari ini diantara hari-hari sempit lainnya, kamu datang ke apartemenku. 
Begitu sulitnya menghadirkan kebersamaan antara diriku dan dirimu, dan hari ini akan menjadi hari istimewa. Karenanya aku rela mengorbankan waktu untuk mempersiapkan segalanya sesempurna mungkin, menyediakan apa yang menjadi kesukaanmu. 
Tanganku yang tidak terbiasa memegang peralatan dapur, kali ini harus rela bersentuhan dengan berbagai macam peralatan yang tampak asing bagiku.



 Demi kamu…., bahkan Ana dan Susie asistenku, kubebas tugaskan hari ini. Aku ingin semuanya hanya ada ‘aku dan kamu’. Hari ini….ya, hanya hari ini. Kubuat semua serba sempurna, sepasang lilin aromatherapy, pot bunga berisi campuran Lily , Tulip dan Carnation turut menghiasi meja bundar yang telah kutata sedemikian rupa. Gaun malamku yang menyapu lantai dengan balutan scarf senada seakan menyetujui bahwa ini adalah malam yang sempurna.
-----------------------------------------------

“Mengapa Aimee?” tanyamu, matamu memandang seolah tidak mengerti. Mencoba mencari jawaban yang kutahu kamu sudah tahu jawabannya. 


Ritual makan di keheningan telah kita lalui tadi, kini apartemen seluas 245 m2 ini tiba-tiba menjadi sempit dan sesak bagiku. Seperti berada di ruang hampa udara,  aku berjalan membuka jendela, menuju teras dan menghirup udara sore sekuat-kuatnya seakan baru terbebas dari bongkahan batu besar yang menimpa dadaku. 

Mengapa? Akankah setiap kalimat tanya mengharuskan jawaban? Bukankah ada kalimat retorika? 
Kamu berjalan dan berdiri di sampingku ikut memandang ke arah langit yang kini tampak berwarna jingga. Aku tidak menyukai ketinggian, aku benci. Dan berada di ketinggian 115m diatas permukaan tanah ini membuatku mual. Tapi apartement ini adalah yang terbaik. Dan kedua orangtuaku selalu memberiku yang terbaik, serta mengharapkan aku selalu mendapatkannya.

Aku melangkah masuk ke dalam diikuti dirimu. Kupandang dirimu, kaupun balas memandangku. Seakan melebur seolah kata tak lagi mampu untuk mengungkapkannya.
Menahun aku tahu bahwa saat ini akan tiba, berulang kali aku bertanya dalam hati, apakah ini akhirnya? Walaupun baik aku dan kamu seperti telah mempunyai kesepakatan tidak tertulis untuk menjawab dengan satu kata yang sama namun tidak pernah terucap.

Kini bahasaku tinggal rasa, dan rasa itu seperti berada jauh di udara, nyata tapi sulit untuk dicapai. Dan dua makhluk Tuhan ini juga tidak kuasa untuk menggapainya.
“Nikahi aku, Rully, maka aku tidak akan pergi”, pintaku. Kukorbankan segala ego yang ada di dalam diriku. Belum pernah seumur hidup aku meminta sesuatu kepada seseorang seperti ini.
Matamu lama memandangku, “Tidak bisa, Aimee…mengertilah, aku tidak bisa”.
“Kamu pengecut!!”, suaraku bergetar.
“Kamu terlalu sempurna untukku, Aimee, aku tidak akan sanggup mendampingimu, begitu juga dirimu, akan terlalu banyak yang tersakiti”, suaramu terdengar perih. 

Cinta, sampai di mana ia bisa menembus perbedaan? Apakah cinta itu bisa menerima segalanya? Bullshit! Omong kosong! Ada hal-hal  yang menjadi pembatas cinta, ada hal-hal  yang menjadi syarat agar cinta itu diterima.  Dan aku dipaksa sadar akan itu.

Aku sadar, hubungan ini seperti langit dan bumi, seperti air dan minyak, pasir dengan gula, bahkan serbuk besi dengan serpihan belerang…yang sampai kapan pun tidak memungkinkan untuk menjadi homogen.
Segala kemegahan dan kemewahan yang selama ini kudapatkan dari kedua orangtuaku, serta suksesnya karierku sebagai pemilik toko emas terkemuka di negeri ini, ternyata tidak mampu menjadi salah satu persyaratan diterimanya  perjuangan cintaku.

Dan kamu…., terlalu pengecut untuk mengakui bahwa kamu juga mencintaiku. Aku tidak menyalahkanmu, masalah yang ada sudah terlalu banyak. Bukan masalah kita, tapi kita dipaksa menjadikan itu menjadi masalah kita berdua. Tiba-tiba status social kini menjadi topic yang utama.
---------------------------------------------------------


Sudah mendekati tengah malam, keputusan telah diambil. 
5 tahun perjalanan cinta yang penuh dengan air mata, keringat dan pengorbanan akan rasa, tidak diakui, bahkan oleh semesta sekalipun, akhirnya harus berakhir malam ini.

Aku anak seorang Taipan pengusaha emas terbesar di Asia, pewaris satu-satunya harta kekayaan orangtua, bersanding dengan seorang pegawai di kantorku sendiri tampaknya menjadi suatu hal yang mustahil untuk diwujudkan, bahkan jika itu berupa sinetron bersambung sekalipun.


Dan akhirnya, dengan setengah berbisik, kau akhiri kesempurnaan malam ini dengan mengucapkan beberapa kalimat yang akan kucatat selamanya
“Aimee…Aku jatuh cinta padamu sejak pertama kali bertemu…..Aku tahu kau sedih karena kita tidak bisa leluasa bertemu, pengorbanan cintamu untukku harus berakhir seperti ini,  tapi akupun menderita karenanya. Takdir memutuskan kita tidak mungkin bisa bersama, hari ini, esok bahkan mungkin selamanya, betapa banyak perbedaan yang tidak dapat disatukan, tapi sampai kapanpun aku tetap mencintaimu, cinta takkan pernah tidur, Aimee”.
Berusaha mencerna satu demi satu kalimat yang diucapkannya, aku tak membantahnya. Kalimat itu benar, cinta tak kan pernah tidur,bahkan mati, sampai kapanpun, oleh siapapun. Dan siapa yang lebih mencintai siapa, tidaklah penting.  Aku telah tahu jawabannya.

Kumasukkan kembali selembar tiket pesawat FinnAir sekali jalan ke dalam tasku. Perjalanan 23 jam besok akan mengubah segalanya. Keputusanku untuk menjual perusahaan ini dan meninggalkan semua yang ada pada diriku sempat membuat kedua orangtuaku frustasi. Terlebih keinginanku untuk tinggal jauh di ujung dunia, Finlandia. Aku ingin menyepi, jauh dari segalanya….
Aku tidak ingin menjadi ‘anak siapa’ sekarang ini. Aku ingin memulainya dari awal dengan hanya menjadi diriku. Suatu saat…. Yah suatu saat nanti, jika Tuhan menghendaki, perpisahan ini akan menjadi awal perjumpaanku kembali denganmu, tanpa diiringi lagi kecemasan akan status diri kita masing-masing.

No comments:

Post a Comment