Dentingan ‘Lieberstraum’ Richard Clayton mengalun memenuhi ruang tamu entah yang keberapa kalinya. Kamu menatapku dengan terpana, mulut setengah terbuka tapi tetap sebersit senyuman bangga.
Duduk
di dekatmu, sedemikian dekat membuatku rela untuk memencet tuts piano
berkali-kali, tanpa ada rasa lelah.
Hari
ini diantara hari-hari sempit lainnya, kamu datang ke apartemenku.
Begitu sulitnya menghadirkan kebersamaan antara diriku dan dirimu, dan hari ini akan menjadi hari istimewa. Karenanya aku rela mengorbankan waktu untuk mempersiapkan segalanya sesempurna mungkin, menyediakan apa yang menjadi kesukaanmu.
Tanganku yang tidak terbiasa memegang peralatan dapur, kali ini harus rela bersentuhan dengan berbagai macam peralatan yang tampak asing bagiku.
Demi kamu…., bahkan Ana dan Susie asistenku, kubebas tugaskan hari ini. Aku ingin semuanya hanya ada ‘aku dan kamu’. Hari ini….ya, hanya hari ini. Kubuat semua serba sempurna, sepasang lilin aromatherapy, pot bunga berisi campuran Lily , Tulip dan Carnation turut menghiasi meja bundar yang telah kutata sedemikian rupa. Gaun malamku yang menyapu lantai dengan balutan scarf senada seakan menyetujui bahwa ini adalah malam yang sempurna.
Begitu sulitnya menghadirkan kebersamaan antara diriku dan dirimu, dan hari ini akan menjadi hari istimewa. Karenanya aku rela mengorbankan waktu untuk mempersiapkan segalanya sesempurna mungkin, menyediakan apa yang menjadi kesukaanmu.
Tanganku yang tidak terbiasa memegang peralatan dapur, kali ini harus rela bersentuhan dengan berbagai macam peralatan yang tampak asing bagiku.
Demi kamu…., bahkan Ana dan Susie asistenku, kubebas tugaskan hari ini. Aku ingin semuanya hanya ada ‘aku dan kamu’. Hari ini….ya, hanya hari ini. Kubuat semua serba sempurna, sepasang lilin aromatherapy, pot bunga berisi campuran Lily , Tulip dan Carnation turut menghiasi meja bundar yang telah kutata sedemikian rupa. Gaun malamku yang menyapu lantai dengan balutan scarf senada seakan menyetujui bahwa ini adalah malam yang sempurna.
-----------------------------------------------
“Mengapa
Aimee?” tanyamu, matamu memandang seolah tidak mengerti. Mencoba mencari
jawaban yang kutahu kamu sudah tahu jawabannya.
Ritual makan di keheningan telah kita lalui tadi, kini apartemen seluas 245 m2 ini tiba-tiba menjadi sempit dan sesak bagiku. Seperti berada di ruang hampa udara, aku berjalan membuka jendela, menuju teras dan menghirup udara sore sekuat-kuatnya seakan baru terbebas dari bongkahan batu besar yang menimpa dadaku.
Ritual makan di keheningan telah kita lalui tadi, kini apartemen seluas 245 m2 ini tiba-tiba menjadi sempit dan sesak bagiku. Seperti berada di ruang hampa udara, aku berjalan membuka jendela, menuju teras dan menghirup udara sore sekuat-kuatnya seakan baru terbebas dari bongkahan batu besar yang menimpa dadaku.
Mengapa?
Akankah setiap kalimat tanya mengharuskan jawaban? Bukankah ada kalimat
retorika?
Kamu
berjalan dan berdiri di sampingku ikut memandang ke arah langit yang kini
tampak berwarna jingga. Aku tidak menyukai ketinggian, aku benci. Dan berada di
ketinggian 115m diatas permukaan tanah ini membuatku mual. Tapi apartement ini
adalah yang terbaik. Dan kedua orangtuaku selalu memberiku yang terbaik, serta
mengharapkan aku selalu mendapatkannya.
Aku melangkah masuk ke dalam diikuti dirimu. Kupandang dirimu, kaupun balas memandangku. Seakan melebur seolah kata tak lagi mampu untuk mengungkapkannya.
Aku melangkah masuk ke dalam diikuti dirimu. Kupandang dirimu, kaupun balas memandangku. Seakan melebur seolah kata tak lagi mampu untuk mengungkapkannya.
Menahun
aku tahu bahwa saat ini akan tiba, berulang kali aku bertanya dalam hati,
apakah ini akhirnya? Walaupun baik aku dan kamu seperti telah mempunyai
kesepakatan tidak tertulis untuk menjawab dengan satu kata yang sama namun
tidak pernah terucap.
Kini
bahasaku tinggal rasa, dan rasa itu seperti berada jauh di udara, nyata tapi sulit
untuk dicapai. Dan dua makhluk Tuhan ini juga tidak kuasa untuk menggapainya.
“Nikahi
aku, Rully, maka aku tidak akan pergi”, pintaku. Kukorbankan segala ego yang
ada di dalam diriku. Belum pernah seumur hidup aku meminta sesuatu kepada
seseorang seperti ini.
Matamu
lama memandangku, “Tidak bisa, Aimee…mengertilah, aku tidak bisa”.
“Kamu
pengecut!!”, suaraku bergetar.
“Kamu
terlalu sempurna untukku, Aimee, aku tidak akan sanggup mendampingimu, begitu
juga dirimu, akan terlalu banyak yang tersakiti”, suaramu terdengar perih.
Cinta,
sampai di mana ia bisa menembus perbedaan? Apakah cinta itu bisa menerima
segalanya? Bullshit! Omong kosong!
Ada hal-hal yang menjadi pembatas cinta,
ada hal-hal yang menjadi syarat agar
cinta itu diterima. Dan aku dipaksa sadar
akan itu.
Aku
sadar, hubungan ini seperti langit dan bumi, seperti air dan minyak, pasir
dengan gula, bahkan serbuk besi dengan serpihan belerang…yang sampai kapan pun
tidak memungkinkan untuk menjadi homogen.
Segala
kemegahan dan kemewahan yang selama ini kudapatkan dari kedua orangtuaku, serta
suksesnya karierku sebagai pemilik toko emas terkemuka di negeri ini, ternyata
tidak mampu menjadi salah satu persyaratan diterimanya perjuangan cintaku.
Dan
kamu…., terlalu pengecut untuk mengakui bahwa kamu juga mencintaiku. Aku tidak
menyalahkanmu, masalah yang ada sudah terlalu banyak. Bukan masalah kita, tapi
kita dipaksa menjadikan itu menjadi masalah kita berdua. Tiba-tiba status
social kini menjadi topic yang utama.
---------------------------------------------------------
Sudah
mendekati tengah malam, keputusan telah diambil.
5 tahun perjalanan cinta yang penuh dengan air mata, keringat dan pengorbanan akan rasa, tidak diakui, bahkan oleh semesta sekalipun, akhirnya harus berakhir malam ini.
Aku anak seorang Taipan pengusaha emas terbesar di Asia, pewaris satu-satunya harta kekayaan orangtua, bersanding dengan seorang pegawai di kantorku sendiri tampaknya menjadi suatu hal yang mustahil untuk diwujudkan, bahkan jika itu berupa sinetron bersambung sekalipun.
5 tahun perjalanan cinta yang penuh dengan air mata, keringat dan pengorbanan akan rasa, tidak diakui, bahkan oleh semesta sekalipun, akhirnya harus berakhir malam ini.
Aku anak seorang Taipan pengusaha emas terbesar di Asia, pewaris satu-satunya harta kekayaan orangtua, bersanding dengan seorang pegawai di kantorku sendiri tampaknya menjadi suatu hal yang mustahil untuk diwujudkan, bahkan jika itu berupa sinetron bersambung sekalipun.
Dan
akhirnya, dengan setengah berbisik, kau akhiri kesempurnaan malam ini dengan
mengucapkan beberapa kalimat yang akan kucatat selamanya
“Aimee…Aku
jatuh cinta padamu sejak pertama kali bertemu…..Aku tahu kau sedih karena kita
tidak bisa leluasa bertemu, pengorbanan cintamu untukku harus berakhir seperti
ini, tapi akupun menderita karenanya. Takdir
memutuskan kita tidak mungkin bisa bersama, hari ini, esok bahkan mungkin
selamanya, betapa banyak perbedaan yang tidak dapat disatukan, tapi sampai
kapanpun aku tetap mencintaimu, cinta takkan pernah tidur, Aimee”.
Berusaha
mencerna satu demi satu kalimat yang diucapkannya, aku tak membantahnya. Kalimat
itu benar, cinta tak kan pernah tidur,bahkan mati, sampai kapanpun, oleh
siapapun. Dan siapa yang lebih mencintai siapa, tidaklah penting. Aku telah tahu jawabannya.
Kumasukkan
kembali selembar tiket pesawat FinnAir
sekali jalan ke dalam tasku. Perjalanan 23 jam besok akan mengubah segalanya.
Keputusanku untuk menjual perusahaan ini dan meninggalkan semua yang ada pada
diriku sempat membuat kedua orangtuaku frustasi. Terlebih keinginanku untuk
tinggal jauh di ujung dunia, Finlandia. Aku ingin menyepi, jauh dari
segalanya….
Aku
tidak ingin menjadi ‘anak siapa’
sekarang ini. Aku ingin memulainya dari awal dengan hanya menjadi diriku. Suatu
saat…. Yah suatu saat nanti, jika Tuhan menghendaki, perpisahan ini akan
menjadi awal perjumpaanku kembali denganmu, tanpa diiringi lagi kecemasan akan
status diri kita masing-masing.
No comments:
Post a Comment