Friday, July 11, 2014

Diandra
















Akhirnya aku dapat melihatnya
Cahaya itu seperti kabut yang terangkat
Seperti langit yang hangat dan cerah
Semua terlihat berbeda sekarang
Dan aku beranjak menuju pelukanNya


“Aku harus bisa melepaskan ini semua, Leen.”
Kupandang wajah tirusnya, rasa tak rela dan marah campur aduk menjadi satu dalam diriku. Tapi aku hanya terdiam. Kucoba mencari pancaran penolakan dalam bola mata yang menampakkan kesaratan akan penderitaan itu. Tidak kutemukan disana. Kepasrahan model apa ini? Batinku menyalak. Ada yang salah disini…diriku? Atau dirinya? Tapi aku tahu, kamulah yang benar dan akulah yang salah.

Aku bertemu denganmu setahun yang lalu. Pertemuan secara tidak sengaja, di sebuah Yayasan bernama Roemah Kupu Danestri. Tiga bulan kemudian Tuhan merencanakan sebuah cerita yang harus kurangkai bersamamu. Aku ditautkan kembali dalam satu scenario panjang yang aku dan kamu terlibat aktif di dalamnya baik secara hati maupun fisik. Pagi hari aku dikejutkan oleh dentingan piano Richard Clayderman di ponselku. Ternyata kamu! Kamu tidak berbicara banyak, tapi suaramu tercekat, dan aku cukup sadar untuk berkata, “ Tiga puluh menit lagi aku sampai dirumahmu!”
Sesampainya disana, kulihat dari balik jendela, kamu terbaring diam dan  memandangku sambil tanganmu menunjuk ke arah jendela, cepat kuraih sisi dalam jendela yang setengah terbuka dan menemukan kunci pintu depan. Kuraih, kubuka dan aku berlari ke arahmu. 
Kamu tetap terdiam. Matamu tajam menatapku, tanpa kata. Tapi aku tahu….bahkan hanya berupa helaan nafasmu saja aku sudah tahu…berlebihan? Tidak…aku tahu tidak berlebihan. Mencintai itu masalah hati. Hati akan berbicara mengalahkan sejuta kata pada saat kita mencintai dan menyayangi seseorang…

“Apa yang terjadi?” tanyaku, “Mengapa tiba-tiba?”.
“Aku gak tau, tiba-tiba lemas dan sulit digerakkan,” jawabmu.
“Mana Irah?”,tanyaku, menanyakan asistenmu.
“Izin pulang kemarin, tapi lusa katanya mau balik lagi ”. 
“Putri?” tanyaku lagi
“Di Panti, mereka menitipkannya di sana”, kulihat susah payah dirimu menahan jatuhnya airmata.
Seakan tahu pertanyaanmu berikutnya, segera kukatakan, “Gak usah dipikirin, nanti aku akan bantu semua.” balasku cepat, menepis kekhawatiranmu akan ketiadaan seorangpun di sisimu. Dan itu adalah pertemuan kedua kita. 

Kini, sudah tidak terhitung lagi, ini pertemuan yang keberapa. Dan akupun tidak berusaha menghitungnya, rasanya seperti sudah sangat lama mengenal dirimu. Dari hari ke hari mengenalmu, semakin aku mengagumi dirimu. Semangatmu, keikhlasanmu dalam menghadapi kehidupan sebatang kara  dan dikucilkan dari keluarga dikarenakan penyakit yang tidak kau kehendaki keberadaannya, yang bagi sebagian orang mungkin sudah memilih untuk mengakhirinya. Tapi kau yakini semua ini tidaklah terjadi secara sia-sia. Ada hikmah di balik ini semua.

“Aku perlu orang yang bersedia meneruskan ini Leen”, katamu suatu saat di sela-sela melakukan fisiotheraphy.
“Memangnya kamu mau kemana?” tanyaku
“Aku tidak tahu sampai kapan bisa bertahan, Leen. Semakin hari semakin menyakitkan, tapi aku mau sembuh”, ujarmu.
“Aku tahu kamu kuat, tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya, dan Tuhan selalu mengabulkan prasangka hambaNya, kamu harus sembuh….untuk Putri dan aku ”, jawabku terbata.

Matamu menerawang memandang halaman rumahmu yang rimbun ditumbuhi pepohonan Krisan. Berapa tahun yang lalu, setiap pagi kesukaanmu adalah membersihkan rumput liar yang tumbuh dibawah bunga Krisan. Kamu sangat mencintai Krisan, “Bunga kenangan Leen, bungaku dan Iwan …”  katamu ketika kutanya mengapa, ”Krisan itu artinya kebahagiaan, keceriaan, kecantikan, kemurnian bisa juga diartikan sebagai persahabatan. Tapi Krisan juga bisa sebagai pelambang kematian”, jelasmu panjang lebar.
-------------------------------------------------

Kupandang gundukan tanah merah di depanku, seikat Krisan kuning berada diatasnya, kelopaknya bergoyang terkena tiupan angin.  Diandra Danestry ….hari ini genap 3 tahun persahabatan kita, penyakit lupus dan sindrom Guillain Barre –penyakit lumpuh layu- membuatmu tidak sanggup untuk bertahan lebih lama lagi.


Kuingat betapa tubuh ringkihmu tidak lagi sanggup menahan rasa sakit yang mendera. Penyakit Lupus  yang menyerang sistem dalam tubuhmu telah mengenai jantung, paru-paru, dan darahmu, ditambah dengan kelumpuhanmu yang tiba-tiba di usiamu yang ke 25. 

Namun semangatmu untuk bertahan dan sembuh dari penyakit ini, membuatku semakin yakin bahwa manusia hanya bisa  berencana dengan segala keterbatasan yang dimilikinya namun Tuhan punya rencana lain terhadap mereka. Dan kita hanya bisa pasrah mengikuti scenario-Nya.

Kugendong Putri, gadis kecilmu, buah cintamu dengan Iwan, yang telah dititipkan oleh keluargamu di Panti Asuhan.  Secarik kertas surat kuasa pengalih asuhan bertanda tangan namaku Arleen, masih kugenggam erat. Sebatang kara sepeninggal kematian suami dan kedua orangtuamu dalam kecelakaan pesawat, penolakan keluarga, serta penyakit yang akhirnya membuat terbatasnya dirimu dalam merawat Putri.  Dan kini giliran diriku, sahabatmu sesama odapus  untuk menjaganya serta meneruskan mimpimu mendirikan Roemah Kupu Danestri. Sebuah Yayasan sebagai tempat berkumpul , memberikan informasi dan membangun kualitas hidup para penderita lupus. 

Selamat jalan Diandra……..sekali lagi kupandang Krisan kuning diatas pusaramu, kebahagiaan, keceriaan, kecantikan, kemurnian, persahabatan dan juga……lambang kematian.


 

No comments:

Post a Comment